Minggu, 05 April 2009

Sejarah Ajaran

Di Kampung Pandean, Gang Koplakan, sebelah barat Pasar Lama, di Desa Pare, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur, Indonesia, berdiamlah seorang putra bangsa Indonesia bernama Bapak Hardjosopoero, pekerjaan wiraswasta. Selama hidupnya beliau tidak pernah mendalami ajaran agama apapun dan tidak mempercayai cara-cara perdukunan, kecuali hanya percaya penuh kepada adanya Hyang Maha Kuasa yang memberi hidup kepada seluruh umat/titahnya.

Pada hari Kamis Pon, tanggal 26 Desember 1952, sehari penuh Bapak Hardjosopoero berada di rumah tidak bekerja seperti biasanya, sebagai tukang potong rambut. Yang menyebabkan beliau tidak bekerja karena hatinya merasa gelisah, sekalipun tidak ada beban batin maupun pikiran yang menyelimuti dirinya.

Sore harinya beliau menghadiri undangan ke rumah kawannya yang punya hajat, sudah barang tentu berkumpul dengan orang banyak, namun kegelisahan batin yang dialaminya tidak kunjung reda (hilang). Bahkan apa yang dirasakan beliau itu makin malam makin gelisah.

Menjelang jam 24.00 beliau pamit pulang hanya dengan berjalan kaki, setelah sampai di rumah beliau mengambil tikar yang digelar di atas dipan yang berada di ruang tamu, dialihkan ke lantai dengan maksud digunakan tiduran dalam upaya menenteramkan kegelisahannya. Pada saat itu tepat jam 01.00 malam, ketika beliau sedang tiduran itulah tiba-tiba badan beliau dibangunkan dan digerakkan oleh suatu daya berupa getaran yang sangat kuat diluar kemauan yang menempatkan dirinya dalam keadaan duduk menghadap ke timur dengan kaki bersila dan kedua tangan bersidakep. Walaupun demikian alam pikiran beliau masih dalam keadaan sadar. Sehingga berkeinginan untuk melepaskan diri dari gerakan dan getaran yang dialaminya. Tetapi beliau tidak mampu melepaskannya, yang pada akhirnya beliau menyerah dan bersedia mati pada saat itu pula. Namun yang terjadi diluar kemauannya justru beliau mengucap dengan suara yang keras (dalam bahasa Jawa) :

“ALLAH HYANG MAHA AGUNG,

ALLAH HYANG MAHA ROKHIM,

ALLAH HYANG MAHA ADIL”

Dalam keadaan masih bergetar dan bergerak, badan beliau merasa tergerak membungkuk dengan sendirinya sehingga dahi menyentuh tanah/tikar, seraya mengucap dengan suara yang keras (dalam bahasa Jawa) :

“HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUWASA

HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUWASA

HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUWASA”
Kemudian duduk dan membungkuk kembali, sampai dahi menyentuh tanah/tikar dengan suara keras mengucap (dalam bahasa Jawa) :
“KESALAHANE HYANG MAHA SUCI NYUWUN NGAPURA HYANG MAHA KUWASA
KESALAHANE HYANG MAHA SUCI NYUWUN NGAPURA HYANG MAHA KUWASA
KESALAHANE HYANG MAHA SUCI NYUWUN NGAPURA HYANG MAHA KUWASA”

Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan badan bergetar terus. Setelah itu, tergerak lagi badan membungkuk yang ketiga kalinya sampai dahi menyentuh tanah/tikar dan mengucap dengan suara keras (dalam bahasa Jawa) :

“HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KUWASA

HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KUWASA

HYANG MAHA SUCI MERTOBAT HYANG MAHA KUWASA”

Selanjutnya duduk kembali seperti semula dalam keadaan badan bergetar. Bahasa yang diucapkan oleh Bapak Hardjosopoero adalah bahasa aslinya yaitu bahasa Jawa, adapun terjemahannya disesuaikan dengan bahasa Indonesia.

Gerak sujud menyembah kepada Hyang Maha Kuasa tersebut dituntun secara langsung oleh Hyang Maha Kuasa dan gerak sujud ini berlangsung pada hari Jumat Wage jam 01.00 malam sampai jam 05.00 pagi.

Setelah getaran terhenti timbul rasa takut pada diri sendiri, karena selama hidupnya belum pernah mengalami seperti itu. Kemudian beliau menengok ke kanan, ke kiri, ke belakang, ternyata tiada seorangpun yang berada di dekatnya. Kemudian beliau seraya melihat ke dalam kamar Ibu Hardjosopoero dan putra-putranya yang masih dalam keadaan tidur nyenyak. Selanjutnya seluruh anggota keluarga dibangunkan serta menanyakan apa tidak ada yang mendengar suara keras yang beliau ucapkan sepanjang malam tadi, ternyata tidak seorangpun yang mendengarnya, beliau semakin heran dengan adanya pengalaman yang menakutkan semalam. Setelah berbincang-bincang dengan keluarga tidak satupun yang mengerti, beliau lalu pamit ke rumah kawan terdekatnya antara lain Bapak Djojodjaimoen (seorang tukang kulit) ingin menceritakan dan menanyakan kejadian itu. Sehingga tidak sempat menunggu minum kopi sebagaimana biasanya dilakukan setiap pagi.

Pada tanggal 27 Desember 1952 jam 07.00 pagi sampailah Bapak Hardjosopoero di rumah Bapak Djojodjaimoen, kemudian langsung diceritakan pengalaman yang aneh semalam itu. Semula Bapak Djojodjaimoen tidak percaya terhadap apa yang telah diceritakan beliau. Akan tetapi secara tiba-tiba seluruh badan Bapak Djojodjaimoen tergetar dan bergerak dengan sendirinya seperti halnya yang pernah dialami Bapak Hardjosopoero. Setelah Bapak Djojodjaimoen selesai mengalami sujud diluar kemauannya tadi, keduanya mempunyai niat untuk datang kepada sahabatnya yaitu Bapak Kemi Handini, seorang sopir di Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, dengan harapan akan mendapat penjelasan serta nasihat-nasihatnya.

Pada tanggal 28 Desember 1952 jam 17.00 mereka berdua telah sampai di rumah Bapak Kemi Handini, dan segera diceritakan peristiwa yang telah dialaminya. Belum sampai selesai ceritanya, tiba-tiba ketiga orang tersebut badannya terasa tergetar dan bergerak dengan sendirinya melakukan sujud diluar kemauan sendiri. Di dalam gerak sujud bersama, tiba-tiba Bapak Hardjosopoero melihat dengan terang gambar-gambar tumbal di tempat tertentu yang ditanam di rumah Bapak Kemi Handini. Setelah gerak sujud selesai, lalu diceritakan hal itu kepada Bapak Kemi Handini segala apa yang diketahui di dalam gerak sujud. Mendengar keterangan Bapak Hardjosopoero kedua orang itu merasa heran, karena apa yang diceritakan Bapak Hardjosopoero adalah benar sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Mereka bertiga telah sepakat bulat untuk menemui sahabatnya yaitu Bapak Somogiman seorang pengusaha angkutan di Kampung Plongko, Kecamatan Pare, yang mengerti dalam hal kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan.

Pada tanggal 29 Desember 1952 jam 17.00 mereka bertiga telah sampai di rumah Bapak Somogiman dan di situ ternyata telah berkumpul banyak kawannya. Oleh Bapak Hardjosopoero dipaparkan pengalaman-pengalaman gaib yang pernah dialami oleh ketiga orang selama ini. Pada waktu itu Bapak Somogiman tidak memberikan tanggapan yang baik dan seolah-olah tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Bapak Hardjosopoero. Akan tetapi apa yang terjadi? Secara tiba-tiba Bapak Somogiman badannya tergerak dengan sendirinya diluar kemauan, seperti yang pernah dialami oleh Bapak Hardjosopoero dengan para sahabatnya tersebut. Semenjak hari itu tersiarlah berita dari mulut ke mulut tentang peristiwa gaib di kota Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Tersiarnya berita tentang peristiwa gaib di kota Pare itu, terdengar oleh Bapak Darmo seorang sopir dan Bapak Rekso Kasirin seorang pengusaha batik, yang kemudian kedua orang tersebut berusaha mendatangi rumah Bapak Somogiman dengan maksud untuk membuktikan dari dekat kebenaran tentang berita peristiwa gaib tersebut. Setelah mereka datang di sana belum sampai mendengarkan ceritanya, tiba-tiba badan Bapak Darmo dan Bapak Rekso Kasirin tergerak sujud kepada Hyang Maha Kuasa diluar kemauannya.

Pada saat kedua orang itu tergerak sujud, maka secara serentak teman-temannya yaitu Bapak Hardjosopoero, Bapak Somagiman, Bapak Kemi Handini, Bapak Djojodjaimoen, tergerak pula bersama-sama sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Setelah keenam orang tersebut selesai menjalankan sujud, mereka lalu pulang ke rumahnya masing-masing; kecuali Bapak Hardjosopoero yang tidak mau pulang, karena takut kalau mendapat gerakan-gerakan sendiri di rumahnya. Hampir dua bulan lamanya Bapak Hardjosopoero tidak mau pulang ke rumahnya sendiri, melainkan tinggal berpindah-pindah di rumah kawan-kawannya. Mereka berenam berniat bulat selalu dapat berkumpul pada setiap malam.

Pada suatu malam tanggal 12 menjelang 13 Pebruari 1953, setelah keenam orang tersebut berkumpul, mereka menerima suara/petunjuk rasa agar Bapak Hardjosopoero segera pulang ke rumahnya sendiri, karena akan menerima lagi ajaran yang lebih tinggi langsung dari Allah Hyang Maha Kuasa.